ICC Jakarta – Salah satu nilai dan tipologi penting lainnya revolusi al-Husain adalah masalah reformasi dan perbaikan yang dalam bahasa teknis agamanya amar makruf dan nahi mungkar. Tipologi ini diproklamasikan secara tegas oleh Imam Husain As dalam wasiatnya kepada Muhammad bin Hanafiyya, “Aku ingin menunaikan tugas amar makruf dan nahi mungkar. (Mausua’ Kalimât al-Imâm al-Husain, hal. 291)
Makruf telah menjadi mungkar dan mungkar telah menjadi makruf sebuah fenomena sosial yang kasat mata di masa Imam Husain As. Melihat kondisi genting yang dapat berpotensi melenyapkan Islam secara keseluruhan ini membuat Imam Husain terpanggil untuk melakukan reformasi pada umat datuknya ini.
Masalah reformasi (islah) dan perbaikan ini merupakan masalah asasi dan tipikal dari tragedi asyura. Apa yang dapat dianalisa dan diurai dari keinganan Imam Husain As ini adalah bahwa beliau sekali-kali tidak ingin menafikan kemungkaran lahir dan partikulir, melainkan berada pada tataran ingin mengeliminir akar kemungkaran. Dengan ungkapan lain, al-Husain menunaikan kewajiban amar makruf dan nahi munkar bukan untuk satu kaum pada satu ruang dan waktu tertentu. Tujuan utama Imam Husain As adalah menghidupkan segala yang makruf di seantero alam. Kebaikan (makruf) yang tertinggi di alam semesta ini adalah Imam Maksum itu sendiri. Sebagaimana Imam Shadiq As bersabda: “Kami adalah poros segala kebaikan dan dari kami bercabang segala kebaikan.”(Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 303)
Dan kemungkaran yang paling unggul di dunia ini adalah pembawa panji kekufuran yang nampak secara kasat mata dan telanjang pada diri Yazid dan orang-orang sepertinya. Perlawanan Imam Husain sejatinya juga merupakan perlawanan atas kaum munafik yang berkedok. Orang-orang yang menempatkan Yazid yang menyebut diri mereka sebagai sahabat Nabi Saw yang menghadap-hadapkan Imam Husain dengan seorang yang bahkan satu keutamaan pun tidak dimilikinya.
Embrio penempatan orang yang tidak layak ini harus dilacak hingga Saqifah. Dimana dengan dalih kedekatan kepada Rasulullah Saw atau keutamaannya karena memiliki track-record sebagai orang yang pertama masuk Islam atau sebagai orang yang paling pertama hijrah, sebagaimana klaim khalifah pertama, mereka meninggalkan Ali bin Abi Thalib, ayah Husain yang memilki selangit keutamaan dan telah diproklamirkan secara resmi dan tegas sebagai khalifah umat di Ghadir Khum.
Yazid bahkan tidak menampakkan dirinya sebagai seorang muslim walau secara lahir dan terang-terangan dalam syair-syairnya berkata, “Bani Hasyim telah bermain dengan kerajaan….Tiada berita yang datang juga tiada wahyu yang turun.” (Khawarazmi, Maqtal al-Husain, jil. 2, hal. 59 dan 62.)
Dalam kaca mata Yazid bahwa yang dikejar oleh Bani Hasyim kekuasaan dan kerajaan. Dan masalah wahyu dan al-Qur’an adalah masalah non-sense. Oleh karena itu, Imam Husain menyimpulkan bahwa musuh-musuh Islam kini sedang berupaya mereposisi nilai-nilai dan segala yang mungkar dijelmakan sebagai sesuatu yang makruf. Yazid dengan pemerintahannya, yang merupakan warisan dari Muawiyah, berada pada tataran merubah nilai-nilai, budaya kemanusian dan masyarakat. Tindakan merubah segalanya yang telah dilakukan oleh para pendahulunnya meski dengan malu-malu kucing.
Sebagian orang memandang bahwa apa yang dituju oleh Imam Husain pada peristiwa tragis Karbala adalah kekuasaan dan dunia. Apakah hal ini memang demikian? Mari kita lihat ucapan Imam Husain yang dalam perjalanannya menuju Karbala ketika berkhutbah ihwal kondisi yang berlaku bahwa dunia mengalami perubahan. Dan kebaikan terabaikan dan hak tidak diamalkan. Dan kebatilan tidak dijauhi. Kondisi ini menggairahkannya untuk bersua dengan Tuhan. Kematian dengan kemuliaan dan hidup di samping para tiran merupakan penyebab kesengsaraan. Kondisi semacam ini merupakan medan persiapan bagi Imam Husain As untuk bangkit. (Mausua’ Kalimât al-Imâm al-Husain, hal. 356)
Jadi pandangan salah-kaprah ini tentu saja tidak benar. Karena yang disasar oleh Imam Husain adalah menghidupkan kembali ajaran datuknya Nabi Saw yang telah dikubur oleh umat Islam sendiri dengan menunaikan kewajiban amar makruf dan nahi munkar.
Meminjam istilah para sosiolog, amar makruf dan nahi mungkar ini adalah social control. Dalam definisi kontrol sosial ini disebutkan sebagai media dan wahana untuk mengkondisikan anggota masyarakat untuk berbuat yang patut dan layak serta mencegah anggota masyarakat untuk meninggalkan perbuatan yang tidak senonoh..” (Bruce J Cohen, Mabâni Jâm’i Syinasi, hal. 152)
Dalam kebudayaan Islam dan logika al-Qur’an, sebaik-baik umat dan komunitas adalah komunitas yang menganjurkan yang baik (makruf) dan menolak yang buruk (mungkar). “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar.” (Qs. Ali Imran [3]:110) [Asyura dan Rekayasa Sosial/A. Kamil)