ICC Jakarta – Dzikir bermakna mengingat yang dialirkan melalui lisan, melalui kidung, pujian, doa dan wirid dan sebagainya. Dalam tuturan-tuturan para arif, zikir bermakna mendisiplikan amalan, menjaga, taat, shalat, Qur’an, dan seterusnya.
Salah satu jelmaan teriindah hubungan kasih dengan Tuhan dan merupakan jalan fundamental sair dan suluk adalah dzikir. Dzikirullah (mengingat Tuhan) adalah mengingat entitas wujud manusia yang terbatas dan berada dalam lintasan mengingat nama-nama Tuhan dan kontinuitasnya. Mengingat Tuhan akan mengeliminir segala dosa dari hati manusia; lantaran lalai dan lupa dari mengingat Tuhan akan menodai dan melegamkan hati manusia. Berangkat dari sini, salah satu risalah para wali Allah dan kitab-kitab samawi adalah melenyapkan kelegaman dan noda ini. Atas dasar itu, “dzikir” disebut sebagai salah satu sifat Rasulullah Saw dan sebuah nama dari nama-nama al-Qur’an. Sebagaimana al-Qur’an menyinggung sifat dzikr ini bagi Rasulullah Saw, “Qad anzalaLlâh ilaikum dzikrâ Rasulân yatlu ‘alaikum Ayatillâh…” (Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu, dan (mengutus) seorang rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah, Qs. Thalaq [65]:10-11)
Demikian juga salah satu nama al-Qur’an adalah dzikir sebagaimana hal itu dinyatakan dalam, “Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun.” (Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. Qs. Al-Hijr [15]:9)
Alasan penamaan Rasulullah Saw dan al-Qur’an sebagai dzikir lantaran keduanya mengingatkan manusia kepada Allah Swt; lantaran mengingatkan bergantung pada pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan para nabi dan kitab-kitab samawi inilah yang telah berhasil menyingkirkan tirai kelalaian dan kelupaan dari hati mereka dan memendarkan cahaya Ilahi atasnya. Karena itu, mengingat Tuhan akan melesakkan manusia kepada puncak spiritual meninggalkan penjara dunia dan menghidupkan harapan pada manusia dan melenyapkan segala putus asa dan putus harapan mansia atas kesempitan kehidupan dunia materi dan kalkulasi-kalkulasi manusiawi.
Bagian dan Tingkatan Zikir
Mengingat bahwa zikir merupakan salah satu ibadah kepada Tuhan; seperti ibadah lainnya maka ia terbagi menjadi beberapa bagian: seperti zikir umum dan zikir khusus; zikir umum tidak terkhusus pada satu makhluk tertentu, melainkan dapat dijumpai pada segala sesuatu; artinya seluruh entitas dan makhluk berzikir kepada Allah Swt. Zikir khusus, dilakukan utamanya oleh jenis tertentu dari makhluk-makhluk; seperti zikir khusus malaikat atau khusus manusia. Zikir terkadang bermuara dari hati dan terkadang bersumber dari lisan. Akan tetapi pembagian ini tidak eksklusif terbatas pada manusia; lantaran entitas-entitas lainnya yang memiliki inteleksi berbeda terkadang berzikir dengan hati mereka dan terkadang berzikir mengingat Allah dengan lisan yang terkhusus buat mereka yaitu zikir lisannya.
Imam Muhammad Ghazali dalam Kimiyâ Sa’âdat berkata bahwa zikir memiliki empat derajat:
Pertama: Dengan lisan dan hati lalai dari apa yang diungkapkan oleh lisan; pengaruh dari jenis zikir semacam ini lemah. Namun tetap memberikan pengaruh. Karena lisan yang sibuk melayani (berzikir) masih lebih baik ketimbang lisan yang menganggur atau berkata-kata tanpa ada makna. Sekaitan dengan itu, Imam Khomeini Ra terkait dengan zikir lisan berkata, “Kendati mengingat Tuhan (dzikrullah) merupakan salah satu sifat hati dan apabila kalbu berzikir maka seluru faidah dan manfaat bagi orang yang berzikir akan ia peroleh. Akan tetapi lebih baik zikir kalbu yang mengekor pada zikir lisan. Sesempurna dan seutama tingkatan zikir adalah zikir yang dilakukan pada sumber-sumber tingkatan kemanusiaan dan efeknya merajalela terhadap lahir dan batin, terang-terangan atau diam-diam… Zikir lisan juga merupakan suatu ha yang terpuji dan ideal dan pada akhirnya akan mengantarkan manusia kepada hakikat. Karena itu, dalam riwayat dan hadis juga banyak memuji zikir lisan ini.
Kedua, zikir yang ada dalam hati namun tidak bersemayam di dalamnya.
Ketiga, zikir hati yang bersemayam dalam hati yang diraup dengan usahanya memanifestasikan zikir itu dalam setiap kegiatannya.
Keempat, yang berkuasa dalam hati dan penguasa itu adalah Allah Swt, bukan lagi zikir. (Ghazali, Kimiyâ Sa’âdat, jil. 1, hal. 254)