ICC Jakarta – Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Ali Zainal Abidin terlahir ke dunia pada 5 Syakban. Imam Sajjad as dalam sebuah riwayat mengatakan, “Ada tiga hal yang jika dilakukan dan dimiliki oleh orang mukmin, maka kelak Allah akan menjadikannya berada pada perlindungan Allah, kelak orang itu akan diberi naungan oleh Allah dengan naungan arasy-Nya di hari kiamat, dan kelak orang itu akan diberi rasa aman oleh Allah di hari ketika semua orang merasa ketakutan di hari kiamat.”
Tiga hal yang dikatakan oleh Imam Zainal Abidin itu adalah pertama, man a’than nasa min nafsihi ma huwa saailuhum li nafsih;,kedua adalah wa, rajulun lam yuqaddim yadan wa rijlan hatta ya’lama annahu fi tha’atillah qoddamha aw fi ma’shiyaatih wa rajulun lam yu’id akhahu bi ‘ibin hatta yatruka kadzalik kal ‘aiba min nafsih.
Yang pertama, kata Imam Zainal Abidin, adalah orang yang memberikan kepada masyarakat apa yang dia inginkan untuk diperoleh dari masyarakat. Ungkapan yang sederhana tapi mengandung makna yang sedemikian dalam. Kita hidup sebagai manusia dan manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia tidak akan pernah hidup kecuali dalam sebuah masyarakat, manusia tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Karena itulah dalam kehidupan bermasyarakat pasti ada hal-hal yang kita inginkan dari masyarakat atau juga kita bisa berikan kepada masyarakat.
Saat hidup di tengah masyarakat orang menghendaki pertama keamanan dan kenyamanan. Kedua, orang ingin dihormati dan hidup secara terhormat bukan terhina di tengah masyarakat. Dan yang ketiga, orang hidup di tengah masyarakat ketika dia memiliki kebutuhan dia berharap masyarakat bisa membantu dia dalam memenuhi kebutuhannya dalam kehidupan. Hal-hal itulah yang dibutuhkan oleh seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, kata Imam Ali Zainal Abidin, ketika seorang mukmin melakukan sesuatu untuk masyarakat, melakukan hal yang dia harapkan dari masyarakat supaya masyarakat melakukan hal itu kepadanya, orang ini kelak akan diberi perlindungan oleh Allah di hari kiamat, akan dinaungi oleh Allah dengan naungan arasy-Nya.Artinya, ketika dia mengharapkan rasa aman dan nyaman dia juga harus bisa memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat, jangan sampai orang hanya berharap keamanan dan kenyamanan, tetapi dia tidak pernah bersedia untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat.
Salah satu nikmat yang bisa didapatkan oleh orang dalam kehidupan adalah nikmat keamanan. Dan salah satu bencana paling besar dalam kehidupan adalah ketika orang hidup tanpa rasa aman. Karena itu, kita semua mengharapkan keamanan dan sebagai orang muslim kita harus juga bisa menegakkan keamanan memberikan keamanan dan kenyamanan kepada masyarakat kita.
Kedua, kita selalu dalam kehidupan ini tidak mau hidup terhina. Karena itu, jangan pernah kita menghina orang lain. Kita berharap orang lain tidak menghina kita, maka kita janganlah menghina orang lain. Salah satu bentuk penghinaan adalah ketika orang menggibah atau membicarakan aib kita. Kita tidak mau orang membicarakan aib kita. Jika itu kita tidak inginkan, janganlah kita menggunjingkan aib orang lain. Ketika kita tidak mau orang lain mencibir kita, jangan mencibir orang lain. Ketika kita tidak mau orang lain merecoki rumah tangga kita, jangan merecoki rumah tangga orang lain. Jika kita tidak menginginkan adanya kezaliman terhadap kita, janganlah kita menzalimi orang lain.
Hal ketiga yang diharapkan dalam kehidupan adalah bahwa dalam kehidupan ini kita banyak membutuhkan hal-hal untuk menunjang kehidupan kita. Karena itu, kita mengharapkan masyarakat bisa memberikan kepada kita. Salah satunya adalah ketika kita membutuhkan dalam keadaan ekonomi kita sedang jatuh. Kita mengharapkan adanya bantuan dari masyarakat kepada kita. Karena itu, ketika kita masih mampu untuk memberi, mengapa tidak memberi. Imam mengatakan, kalau ada orang yang memiliki sifat bahwa dia memberikan kepada masyarakat apa yang dia harapkan masyarakat bisa memberikan kepadanya, orang ini akan dijamin oleh Allah dengan keamanan-Nya di hari kiamat.
Kedua, Wa rajulun lam yuqaddim yadan wa rijlan hatta ya’lama annahu fi tha’atillah qaddamha aw fi ma’shiyatih, adalah orang yang tidak pernah melangkahkan kaki dan tidak pernah menjulurkan tangan, melakukan sesuatu perbuatan apa pun kecuali dia tahu langkah kakinya atau juluran tangannya ini untuk maksiat kepada Allah atau untuk ketaatan kepada Allah. Jadi artinya sebelum melakukan perbuatan, sebelum bertindak, dia sudah tahu bahwa dia dengan perbuatan ini bisa menyenangkan Allah, membuat Allah rida ataukah membuat Allah murka. Ini adalah salah satu ciri orang mukmin dan inilah orang yang dijanjikan oleh Imam akan mendapatkan rasa aman dari Allah di hari kiamat nanti.
Dan yang ketiga adalah wa rajulun lam yu’id akhahu bi ‘ibin hatta yatruka kadzalik kal ‘aiba min nafsih, orang yang tidak pernah mencela perbuatan buruk orang lain, tidak pernah menyalahkan orang lain atau sebuah perbuatan buruk kecuali dia sudah membersihkan dirinya dari perbuatan buruk itu. Banyak sekali muskilah atau kesulitan yang muncul di tengah masyarakat kita dari dalam pergaulan kita secara sosial adalah saat kita menyalahkan orang lain karena orang lain itu memiliki suatu kesalahan atau menyalahkan tindakan orang, padahal kita masih memiliki kesalahan yang sama dan masih melakukan perbuatan yang sama.
Inilah yang dikatakan oleh Imam Zainal Abidin tentang tiga hal yang harus dimiliki oleh orang mukmin jika dia ingin mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat.
Kalau kita mau melihat dengan cermat, ketiga hal yang disebut oleh Imam tadi maka yang muncul adalah bahwa pertama dia harus memupuk hubungan yang baik dengan Allah, hubungan kesalehan dengan Allah, hubungan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah. Jangan sampai dia melakukan maksiat, jangan sampai dia meninggalkan taat kepada Allah.
Kelompok yang ketiga adalah memiliki sifat yang sosial, orang yang berhubungan dengan orang lain, membantu orang lain, tidak mencela orang lain, tidak menyakiti orang lain, memberikan rasa aman orang lain supaya bisa mendapatkan hal-hal semacam itu.
Dan yang ketiga, ia masih berhubungan dengan sosial dan juga berhubungan dengan Allah dan kepatuhan kepada-Nya adalah menghilangkan diri kita dari kotoran-kotoran, sehingga kita terpacu untuk menyucikan diri kita, membersihkan diri kita baru kemudian kita melangkah untuk bisa membersihkan orang lain dan menyucikan orang lain dalam bentuk amar makruf nahi mungkar.
Riwayat berikut yang ingin saya sampaikan adalah Imam Zainal Abidin mengatakan ada tiga hal yang bisa menyelamatkan orang mukmin, tsalaasun munjiatun lil mu’min, ada tiga hal yang bisa menyelamatkan orang mukmin. Pertama adalah kaffu lisaanihi ‘anin nas wa tsiyaabihim;yang kedua, wa istighaaluhu nafsahu bima yan fa’uhu li akhiratihi wa dunyaa, dan yang ketiga wa tuulul buka’ ‘ala khatiiatih. Tiga hal yang bisa menyelamatkan seorang mukmin yang pertama adalah menjaga lisannya jangan sampai dia menyakiti orang lain dan jangan sampai dia menggunjingkan orang lain, betapa banyaknya dosa yang terjadi karena lisan kita.
“Ada dua hal, kata Rasulullah dalam sebuah riwayat, “Kalau ada seorang mukmin menjamin kepadaku untuk menjaga dua hal ini, maka aku akan menjaga dia.” Aku akan menjamin dia masuk ke surga. Yang pertama adalah yang menjaga sesuatu di antara dua bibirnya, artinya yang menjaga lisannya, dan yang kedua adalah yang menjaga di antara kedua pahanya. Artinya, kehormatan dan kesusilaannya. Jika ada orang mukmin yang bisa menjaga dua hal ini Rasulullah saw menjamin surga bagi orang tersebut.
Pentingnya masalah lisan untuk dijaga. Lihatlah betapa banyak orang yang tidak melakukan pembunuhan secara fisik, dia tidak memegang senjata, tidak memegang pisau, tidak memegang alat-alat membunuh tapi dia memiliki lisan yang bisa membunuh karakter seseorang. Betapa banyak orang merasakan lebih baik dia mati dibunuh daripada dia harus mati dibunuh karakternya. Pentingnya orang untuk menjaga lisan sampai-sampai dikatakan bahwasanya orang muslim adalah orang yang bisa menjaga lisannya, jangan sampai dia menyakiti orang lain.
Kedua, yang menyelamatkan orang mukmin adalah Wa istighaaluhu nafsahu bima yan fa’uhu li akhiratihi wa dunyaa, menyibukkan diri untuk hal-hal yang penting. Hal-hal yang penting yang bisa memberikan manfaat baginya untuk kehidupan dunianya atau kehidupan akhiratnya. Di sini ada dua hal yang dikatakan oleh Imam, yang pertama adalah jangan membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya, jangan bermalas-malasan, karena waktu terus berjalan waktu terus bergulir. Kita bangun tidur, tidak terasa sudah siang, siang tidak terasa sudah magrib, magrib tidak terasa sudah larut malam, larut malam tidak terasa sudah subuh. Tanggal 1 tidak terasa sudah berubah menjadi tanggal 10, tanggal 10 sudah berubah menjadi tanggal 30, tahun juga begitu.
Waktu bergerak dengan cepat karena itu jangan pernah kita bermalas-malasan. Bergeraklah untuk melakukan hal-hal yang positif dan hal-hal yang bisa menyibukkan diri kita. Jangan sampai diri kita tidak punya pekerjaan sehingga menyibukkan diri kita dengan aib-aib dan salah-salah orang lain, kesalahan-kesalahan orang lain. Imam mengatakan, “Hendaknya kita menyibukkan diri kita dengan sesuatu yang bermanfaat bagi akhirat kita dan dunia kita.” Yakni pertama adalah kita harus menyibukkan diri dan yang kedua mencari kesibukan yang bisa bermanfaat untuk dunia dan akhirat kita.
Dan yang ketiga, yang bisa menyelamatkan seorang mukmin adalah wa tuulul buka’ ‘ala khatiiatih, banyak menangis lama, menangis atas kesalahan yang pernah dilakukan orang berdosa kepada Allah, tepatnya penyesalan adalah dengan tangisan.
Hari Jumat adalah hari yang penuh dengan keberkahan, malam-malam yang penuh berkah, doa-doa kita dikabulkan, doa istigfar kita diijabah. Kita manfaatkan kesempatan ini untuk bisa banyak-banyak istigfar kepada Allah, khususnya setelah (salat) Asar untuk meminta Allah, semoga Allah mengampuni kita atas kesalahan kita. Sebisa mungkin ketika kita meminta ampunan dan meminta maaf dari Allah, hendaknya kita bisa meneteskan walaupun seujung, seujung air mata, karena itulah yang akan bisa menyelamatkan kita dengan setetes air mata karena ketakutan kita kepada Allah akan sangat bermanfaat di hari kiamat nanti.
Tangisan Imam Sajjad
Biasanya manusia ketika berhadapan dengan kondisi yang sulit, dia akan mengalami goncangan kejiwaan yang sedemikian hebat. Imam Zainal Abidin pada usia yang relatif muda 24 tahun kira-kira beliau harus mengalami sebuah peristiwa yang sedemikian dahsyat, peristiwa yang membuat beliau menangis selama 35 tahun sampai beliau meneguk cawan syahadah pada tahun 95 Hijriyah. Imam Zainal Abidin dikenal sebagai salah satu bakka’i, salah satu orang yang selalu menangis dalam kehidupanmu.
Setiap kali melihat orang yang meninggal, beliau menangis teringat ayahandanya. Setiap kali melihat seekor kambing disembelih, beliau akan bertanya, “Sudahkah kambing ini diberi air ataukah belum, karena ayahku terbunuh dalam keadaan kehausan di pinggir Sungai Furat.” Ketika melihat ada orang yang terasing, beliau menangis dan mengatakan, “Ayahku pun terasing.”
Imam selalu mengingat-mengingat peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Muharam tahun 61 Hijriah, peristiwa Asyura. Pada peristiwa itu, Imam Zainal Abidin mendapatkan guncangan yang sedemikian hebat di mana beliau menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ayah beliau, Imam Husain, mengalami keadaan yang sangat mengguncangkan hati, dizalimi, ditindas, dan akhirnya dibunuh dengan sangat keji. Belum lagi beliau menyaksikan saudaranya Ali Akbar yang terbunuh dengan secara yang seperti itu, dan adiknya Ali Asgar juga terbunuh dengan cara yang sangat menyayat hati. Beliau menyaksikan segala penderitaan termasuk juga beliau mengalami penderitaan itu dengan menjadi tawanan dari Karbala menuju Kufah dan dari Kufah menuju Syam. Itulah dialami oleh Imam Zainal Abidin as.
Biasanya orang yang mengalami guncangan-guncangan hebat semacam itu, dia akan tidak memiliki kejiwaan yang kokoh, dia akan terguncang jiwanya. Namun Imam Zainal Abidin, meskipun mengalami penderitaan dan hari-hari yang sedemikian sulit yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, beliau tetap seorang Imam dengan kondisi kejiwaan yang stabil bahkan paripurna, yakni beliau memiliki kesempurnaan dalam mengendalikan kejiwaan beliau.
Beliau menjadi seorang yang dikenal memiliki ilmu yang luas. Banyak sekali kata-kata dan petuah-petuah beliau yang meliputi ilmu tafsir, ilmu fikih, dan hal-hal yang lain. Banyak sekali murid yang belajar kepada beliau. Mungkin kita pernah mendengar nama salah seorang ulama besar yang diakui sebagai ulama besar di kalangan Ahlusunnah, yaitu nama al-Zuhri, yang namanya tercatat sebagai orang pertama yang menuliskan hadis ketika diperintahkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Setelah penulisan hadis pernah dilarang dan itu terjadi pada tahun 102 H. Al-Zuhri adalah murid dari Imam Zainal Abidin.
Ada seorang tabiin yang diakui sebagai tabiin yang alim dan saleh yang ilmunya luas dan bertakwa, yang wafatnya atau ajalnya adalah dengan kematian syahid di tangan seorang pendurjana yang paling bengis sepanjang sejarah Islam yaitu Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Tabiin itu bernama Said bin Zubair. Dia adalah salah seorang perawi hadis yang terkenal di kalangan ulama Syi’ah maupun Sunni. Said bin Zubair adalah murid dari Imam Zainal Abidin. Masih banyak lagi nama-nama besar yang terukir dalam sejarah keilmuan maupun kesalehan di antara kaum muslimin yang merupakan anak didik dari Imam Zainal Abidin as.
Selain itu beliau juga dikenal sebagai orang yang paling banyak ibadah. Kita lihat bahwasanya pada zaman Imam Zainal Abidin bermunculan orang-orang yang menunjukkan dirinya sebagai tokoh-tokoh di dalam ibadah, orang-orang yang selalu beribadah yang dahi mereka selalu menempel sujud, serta bibir mereka selalu bergerak menyebutkan nama-nama Allah dan berzikir. Namun demikian ketika semua orang yang mengklaim diri sendiri sebagai ahli ibadah ditanyakan kepada mereka bagaimana dengan Ali bin Husain, jawaban mereka adalah “kami tidak ada apa-apanya dibandingkan Ali bin Husain.”
Sering kali kita mendengar bahwasanya seorang Imam, misalnya Imam Zainal Abidin atau Imam Hasan Mujtaba atau mungkin dalam riwayat yang lain Imam Musa Kazhim atau riwayat yang lain Imam Ali bin Abi Thalib, ketika sedang wudu, gemetar badan mereka. wajah mereka pucat pasi. Ditanya, “Mengapa keadaanmu seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Aku mengambil air wudu karena sebentar lagi aku akan beribadah dan berhadapan dengan Tuhan yang memiliki segala sesuatu, Tuhan yang memiliki segala keagungan, maka pantas bagi aku dan bagi tubuhku bergetar semacam ini.”
Imam Zainal Abidin adalah salah satu Imam yang namanya sering disebut berkenaan dengan keadaan saat mengambil air wudu dan gemetar karena ketakutan kepada Allah.
Dalam riwayat dari Imam Baqir as dikatakan bahwasanya, Kaana ‘Aliyyubnul Husain idza tawaddha isfarra lawnuh, ketika Imam Imam Zainal Abidin sedang wudu wajah beliau pucat pasi, sampai-sampai, Fa yaqulu lahuu ahluh. Keluarga beliau mengatakan, Mal ladzi yaghsya’. “Apa yang terjadi padamu wahai Imam?” Beliau mengatakan, “Fa yaqulu ‘atadruun liman ata’ahab lil qiyam baina yadaih, Tahukah kalian aku sedang bersiap-siap untuk menghadapi kepada siapa?”
Dalam riwayat lain dikatakan bahwasanya Imam Zainal Abidin, kata Imam Baqir, ketika sedang beribadah berdiri salat beliau ibaratnya seonggok batang kayu yang tidak bergerak sama sekali. Tidak ada sesuatu pun yang bergerak dari tubuh beliau kecuali apa yang digerakkan dan ditiup oleh angin dari tubuh beliau. Selain itu tidak bergerak. Beliau berdiri dengan adab dan dengan akhlak dengan keadaan yang sangat tawaduk di hadapan Allah.
Dengan segala kerendahan di hadapan Allah di dalam riwayat yang lain juga kita sering kali mendengar bahwa Imam Zainal Abidin sedemikian larut di dalam ibadah sampai-sampai salah seorang anaknya pernah diriwayatkan jatuh dari loteng tangannya patah. Riwayat lain mengatakan, jatuh sampai ke dalam sumur. Semua orang yang ada di rumah itu berteriak histeris, sementara Imam Zainal Abidin sedang beribadah di ruang di kamarnya yang tidak jauh dari tempat lokasi itu. Namun ketika semuanya sudah teratasi dan Imam sudah selesai salatnya, mereka bertanya, “Wahai Imam, di manakah engkau tadi? Ribut-ribut ada anakmu yang jatuh sampai tangannya patah.” Kata Imam, “Aku tidak menyadari adanya peristiwa seperti itu, aku tidak menyadari adanya suara-suara yang sedemikian gaduh. Karena aku sedang berhadapan sedang berbicara, sedang munajat denganTuhan yang Mahaagung.”[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Ustaz Hafidh Alkaf, Jumat 19 Maret 2021, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.