Dalam ceramahnya pada Kajian Gebyar Ramadan 1446 H Episode 4 di Islamic Cultural Center Jakarta (ICC), Ustadz Dr. Umar Shahab menyampaikan serangkaian poin penting mengenai perjalanan menuju kesempurnaan ruhani. Ceramah ini menguraikan bagaimana manusia, melalui aktualisasi fitrah yang dianugerahkan oleh Allah, memiliki potensi besar untuk mencapai kedudukan tertinggi di sisi-Nya. Berikut adalah rangkuman lengkap yang memuat seluruh penjelasan dari poin-poin utama tersebut.
Konsep Kesempurnaan
Kesempurnaan adalah tujuan yang hanya bisa dicapai dengan usaha keras dan berkesinambungan. Manusia memiliki potensi untuk mencapai kesempurnaan melalui aktualisasi fitrah yang telah dianugerahkan oleh Allah. Oleh karena itu, dalam surah At-Tin ayat 4-5, Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, namun bisa jatuh ke derajat yang paling rendah (اَسْفَلَ سَافِلِيْنَ (asfala sāfilīn, derajat paling rendah)) kecuali bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Selanjutnya, pencapaian مَقَامُ عَلِّيِّيْنَ (maqām ‘illiyyīn, kedudukan tinggi) dan مَقَامُ مُقَرَّبِيْنَ (maqām muqarrabīn, kedudukan orang-orang yang didekatkan kepada Allah) merupakan perjalanan spiritual yang menuntut perjuangan nyata.
Unsur-Unsur Dalam Diri Manusia
Allah menganugerahkan manusia empat unsur penting, yaitu:
- Akal: berfungsi untuk memahami kebenaran dan merenungi tanda-tanda kebesaran Allah.
- Qalbu: sebagai pusat keimanan dan spiritualitas, tempat timbulnya perasaan kasih sayang dan keikhlasan.
- Ruh: merupakan esensi ilahi yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta.
- Hawa nafsu: dorongan untuk memperoleh sesuatu, yang meskipun memiliki peran, kerap kali mencari pemenuhan dengan cara yang tidak baik.
Namun demikian, hawa nafsu harus dikendalikan agar tidak menyesatkan manusia. Dengan kemampuan akal dan kesadaran qalbu, manusia diharapkan mampu menaklukkan hawa nafsu agar tetap berada di jalan kebenaran.
Kesempurnaan Jasmani dan Rohani
Manusia terdiri dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Di satu sisi, unsur jasmani telah sempurna sejak penciptaannya dan hanya perlu dirawat agar tetap optimal. Sebaliknya, unsur rohani harus terus diperbaiki melalui upaya spiritual. Kesempurnaan jiwa sangat bergantung pada pembangunan unsur rohani, yaitu dengan mengenali dan mendekatkan diri kepada Allah.
Selain itu, alam semesta sendiri diciptakan dalam keadaan bertasbih kepada Allah. Guruh, tumbuhan, dan seluruh ciptaan memuji-Nya secara konstan. Doa, adzan, syahadat, dan gerakan shalat merupakan manifestasi pengakuan terhadap keesaan Allah. Demikian pula, manusia memiliki kapasitas tertinggi dalam mengenal Allah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Adam, yang mampu menyebutkan nama-nama yang tidak diketahui oleh para malaikat dalam proses penciptaannya sebagai khalifah di bumi.
Langkah-Langkah Mencapai Kesempurnaan Rohani
Untuk mencapai kesempurnaan rohani, terdapat dua hal fundamental yang harus dilakukan:
- Melakukan segala sesuatu yang baik
- Meninggalkan segala sesuatu yang buruk
Dalam konteks ini, ilmu irfan, tasawuf, dan akhlak menyebut proses ini sebagai تَزْكِيَةُ النَّفْسِ (tazkiyatun nafs, penyucian jiwa). Selanjutnya, proses تَحَلِّيْ (taḥallī, menghiasi diri) dengan sifat-sifat baik mencakup kewajiban (wājibāt) serta amal yang dicintai Allah (sunnah). Meskipun seluruh perbuatan manusia diatur dalam lima hukum Islam, pada intinya, setiap individu harus memilih antara melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.
Adapun, terdapat dua jenis kebaikan yang perlu diinternalisasi:
- Kebaikan universal (esensial): tercatat dalam Al-Qur’an dan diakui secara universal, seperti kejujuran dan keadilan.
- Kebaikan relatif: bergantung pada norma sosial, contohnya menghormati orang tua melalui tradisi mencium tangan sebagai bentuk penghargaan.
Oleh karena itu, seorang Muslim harus berupaya mewujudkan kedua jenis kebaikan tersebut tidak hanya sebagai hiasan lahiriah, tetapi hingga meresap menjadi bagian dari dirinya. Di sisi lain, manusia juga harus menjalankan prinsip takhallī (تَخَلِّيْ, mengosongkan diri) dengan meninggalkan segala bentuk keburukan, baik yang bersifat esensial maupun relatif.
Mengendalikan Syahwat dan Hawa Nafsu
Jasmani manusia memiliki dua dorongan utama yang harus dihadapi:
- Syahwat: yaitu keinginan untuk memperoleh sesuatu, seperti harta, kedudukan, dan kesenangan duniawi.
- Hawa: dorongan untuk mempertahankan apa yang telah dimiliki, yang berpotensi mengarah pada kezaliman atau keserakahan.
Menurut Al-Qur’an, dalam Surah Asy-Syams ayat 7-10, manusia memiliki dorongan untuk berbuat baik (taqwa) serta berbuat buruk (فُجُوْرٌ (fujūr, kecenderungan berbuat dosa dan menyimpang dari kebenaran)). Sebagai contoh, sikap fujur tampak pada perilaku ujub bagi yang berilmu dan kikir bagi yang memiliki harta. Namun, di dalam diri manusia juga terdapat taqwa, yang tercermin dalam rasa kasih sayang, seperti simpati terhadap anak kecil yang terjatuh atau perhatian kepada orang yang menderita. Ketika dorongan kebaikan itu terus menerus direalisasikan hingga menyatu dengan diri, individu tersebut disebut sebagai muttaqīn (مُتَّقِيْنَ, orang-orang yang bertakwa).
Lanjutan dari ayat ini menekankan, “Qad aflaha man zakkāhā,” yang mengajak manusia untuk menjalankan تَزْكِيَةُ النَّفْسِ (tazkiyatun nafs, pensucian jiwa). Mengapa demikian? Karena dorongan keburukan dalam diri manusia sering kali lebih besar daripada kebaikan. Oleh sebab itu, saat kita melakukan kesalahan, penting untuk segera beristighfar dan bertaubat. Istighfar banyak ditemui dalam shalat dan doa, contohnya dalam doa Kumayl, doa Abu Hamzah, dan munajat Sya‘baniyah.
Tazkiyatun Nafs dan Waktu-Waktu Mustajab
Pembersihan jiwa, atau tazkiyatun nafs, sangat krusial dalam perjalanan spiritual karena kecenderungan keburukan dalam diri manusia memang kerap mendominasi. Akibatnya, istighfar dan taubat menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan seorang mukmin. Selain itu, bulan Ramadan merupakan waktu yang sangat utama untuk mendapatkan ampunan Allah. Jika seseorang tidak mendapatkan ampunan di bulan Ramadan, maka akan lebih sulit baginya untuk mendapatkannya di luar bulan tersebut. Dengan demikian, Ramadan menjadi momentum terbaik bagi manusia untuk mensucikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah.