Channel 12 Israel melaporkan bahwa sekitar 2.000 dosen dari berbagai perguruan tinggi Israel bergabung dalam gerakan protes Angkatan Udara yang menuntut penghentian agresi militer Israel di Gaza serta pemulangan para sandera.
Dalam laporan terpisah, Channel 13 mengungkapkan bahwa ratusan tentara cadangan dari unit intelijen 8200, bagian dari badan intelijen militer Israel, juga mendukung desakan para pilot yang menuntut dihentikannya serangan tersebut. Media Israel menambahkan bahwa sekitar 100 dokter yang tergabung dalam satuan cadangan turut menandatangani petisi serupa, meminta agar operasi militer di Gaza segera dihentikan.
Gelombang protes ini semakin meluas. Pada Kamis (10/4/2025), ratusan personel dari angkatan laut dan korps kendaraan tempur Israel turut menyuarakan penolakan mereka, memperkuat desakan yang sudah diajukan oleh lebih dari 1.000 pilot dan prajurit cadangan Angkatan Udara. Sebelumnya, hampir seribu perwira dan penerbang cadangan sudah lebih dulu menandatangani petisi yang menginginkan penghentian agresi dan pencapaian kesepakatan untuk pembebasan sandera.
Namun, di tengah tekanan besar yang datang dari dalam tubuh militer, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu merespons dengan keras. Ia menuduh bahwa surat-surat protes yang beredar bukanlah inisiatif para prajurit, melainkan “hasil rekayasa kelompok-kelompok yang mendapatkan pendanaan asing.” Netanyahu bahkan mengancam akan memecat siapa pun yang mengajak penolakan terhadap kewajiban dinas militer.
Menanggapi petisi ini, Netanyahu dengan nada tajam menyebut para penandatangan sebagai penyebar “kebohongan”. “Lagi-lagi surat yang sama,” kata Netanyahu. “Kadang atas nama para pilot, kadang atas nama veteran Angkatan Laut, dan seterusnya. Publik sudah tidak lagi termakan oleh kebohongan propaganda mereka yang hanya menarik perhatian media.”
Netanyahu menegaskan bahwa fenomena ini bukanlah gerakan besar: “Ini bukan gelombang. Ini bukan arus utama. Ini hanyalah sekelompok kecil pensiunan yang ribut, anarkis, dan terputus dari kenyataan—sebagian besar dari mereka bahkan sudah lama tidak bertugas.” Sebelumnya, ia bahkan menyebut aksi ini sebagai pemberontakan militer dan para demonstran sebagai “minoritas.”
Dengan nada mengancam, Netanyahu menyebut para pemrotes sebagai “gulma liar” yang ia anggap sedang merusak kekuatan Israel dari dalam. “Mereka ini berusaha melemahkan negeri dan tentara kita, dan dengan sikap seperti itu, mereka justru memberi ruang bagi musuh untuk menyerang kita,” tegasnya.
Peningkatan protes di tubuh militer ini terjadi setelah dimulainya kembali agresi militer Israel terhadap Gaza, yang diperintahkan langsung oleh Netanyahu. Gelombang protes yang juga menggema di luar negeri ini menuntut agar komunitas internasional memberikan tekanan lebih besar pada Tel Aviv, untuk menghentikan pembantaian terhadap warga sipil Gaza dan membuka jalur bantuan kemanusiaan.
Rakyat Israel di wilayah pendudukan pun turun ke jalan dalam jumlah besar, mengecam Netanyahu karena membahayakan nyawa para tahanan yang ditawan Hamas serta memicu kembali krisis keamanan dan tekanan ekonomi dalam masyarakat Israel.
Dalam beberapa hari terakhir, berbagai unit militer ikut bergabung dalam protes, menandatangani petisi yang mendesak agar perang di Gaza segera diakhiri. Ketegangan antara Netanyahu dan para komandan tinggi militer Israel semakin meningkat. Perbedaan pandangan ini, yang berakar pada strategi politik dan persoalan pribadi, kini telah berkembang menjadi konfrontasi terbuka.
Pada Februari lalu, lebih dari 550 mantan komandan dan perwira militer Israel mengirimkan surat terbuka kepada Netanyahu, memperingatkan bahwa melanjutkan perang di Gaza tanpa tujuan strategis yang jelas akan berisiko membawa kerugian besar. Namun, surat tersebut diabaikan oleh pemerintah, yang justru memperburuk hubungan antara pemerintah dan militer.
Setelahnya, sekitar seribu personel Angkatan Udara yang terlibat dalam operasi pengeboman Gaza menulis surat terbuka kepada pejabat militer dan politik senior Israel, mengkritik kelanjutan perang dan menyerukan warga sipil untuk menggelar protes. Lebih dari 150 mantan perwira angkatan laut Israel juga menandatangani petisi yang menuntut berakhirnya serangan terhadap Gaza.
Dalam petisi itu, mereka menegaskan bahwa serangan yang berkelanjutan hanya akan meruntuhkan moral pasukan dan menyebabkan lebih banyak korban jiwa di kalangan warga sipil. Dokter dan perawat militer Israel juga menyoroti situasi kesehatan yang memburuk di Gaza, yang diperparah oleh blokade total, kelangkaan obat-obatan, dan peralatan medis yang mengakibatkan banyak korban jiwa, terutama anak-anak dan perempuan.
Ketegangan antara militer dan pemerintahan Netanyahu semakin meruncing. Banyak pihak dari kalangan militer kini yakin bahwa keputusan kabinet untuk melanjutkan perang lebih didorong oleh kepentingan politik sempit, bukannya untuk menjaga keamanan negara. Mereka menilai bahwa Netanyahu lebih fokus pada upaya mempertahankan kekuasaannya dan menghindari tuntutan hukum, sementara militer membutuhkan strategi yang jelas demi keamanan jangka panjang.
Selain itu, ketakutan akan penuntutan internasional juga semakin memperburuk hubungan ini. Banyak anggota militer yang khawatir akan diadili oleh pengadilan internasional, terutama terkait dengan kemungkinan tuduhan kejahatan perang. Kasus penuntutan terhadap personel militer negara-negara lain atas pelanggaran hukum internasional, seperti yang terjadi pada kasus-kasus di bekas Yugoslavia, Rwanda, dan Serbia, semakin menambah ketegangan ini.
Di tengah krisis ini, Netanyahu dan pemerintahannya menerapkan kebijakan tegas terhadap para pembangkang, dengan mengancam untuk memecat mereka yang menandatangani petisi. Dilaporkan bahwa 60 pilot cadangan telah dipecat sebagai bagian dari tindakan keras ini.
Pakar urusan Israel, Emad Abu Awad, berpendapat bahwa situasi ini menunjukkan bahwa perpecahan di dalam rezim Israel semakin dalam. Langkah pemerintah untuk menekan suara-suara yang berbeda semakin memperburuk ketidakpercayaan antara pemerintah dan militer, yang bisa berujung pada protes yang lebih besar dan bahkan pengunduran diri massal. Ini bisa menjadi krisis pemerintahan yang memaksa Netanyahu untuk merubah kebijakan atau menerima gencatan senjata.
Sumber gambar: https://parstoday.ir/
Sumber berita: https://en.abna24.com/