ICC Jakarta – Manfaat pembahasan mahdawiyah terhadap kehidupan individu dan sosial sudah sangat jelas bagi setiap orang. Pembahasan ini merupakan satu pembahasan penting bagi seluruh umat muslim, khususnya umat Syiah. Tidak hanya itu, bahkan pembahasan ini merupakan salah satu keyakinan dasar umat Islam yang tak terpungkiri.
Namun, tak terelakkan lagi bahwa meskipun suatu keyakinan sudah tertanam dengan kuat dalam hati mayoritas insan, akan tetapi dari sisi lainnya, banyak orang-orang yang berusaha untuk mengalihkan keyakinan-keyakinan tersebut menjadi sebuah keraguan yang akhirnya akan berujung kepada berbagai penyelewengan (penyelewengan akidah dan keyakinan).
Melihat dari apa yang terkandung dalam pembahasan-pembahasan mahdawiyat ini, di mana ia memiliki kelebihan dan keistemewaan tersendiri, maka tak heran apabila pembahasan tersebut menjadi salah satu pembahasan penting yang sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini terbukti dari sejarah yang penuh dengan penyelewengan pada masa kini khususnya dari beberapa kelompok yang menyimpang dalam pemahaman mahdawiyah yang kembali pada abad awal berdirinya Islam. Mereka menganggap diri mereka adalah wakil/duta Imam Mahdi afs.
Penelusuran dan pemahaman yang baik mengenai penyimpangan-penyimpangan tersebut serta sebab terciptanya penyimpangan, mempunyai peranan penting dalam mencegah kita untuk tidak jatuh kedalam kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
Pengakuan Duta Palsu, Awal dari Penyimpangan Besar
Sesuai dengan yang telah kita ketahui bersama bahwa setelah syahidnya Imam Hasan Askari As dan dimulainya masa awal keghaiban Imam As (ghaibah shugra) hubungan secara langsung antara masyarakat dengan Imam Suci Ahlulbait As telah terputus dan pada saat yang sama (duta-duta khusus Imam As) telah memulai usaha-usahanya untuk memberi petunjuk masyarakat. Mereka mempunyai tugas utama untuk mencegah perpecahan di antara pengikut ajaran Ahlulbait dan menjadi pemimpin bagi umat Syiah.
Para pengikut ajaran Ahlulbait secara bertahap terlah terbiasa dan dapat menerima kehadiran para duta khusus Imam As. Hal ini menjadi sebab kebesaran dan kemuliaan kedudukan mereka.
Di tengah masyarakat ini, terdapat segolongan kecil orang yang mempunyai keimanan yang lemah dan sangat terobsesi untuk sampai ke kedudukan mulia ini dengan melakukan kebohongan serta mengaku sebagai duta dari Imam As.
Dengan pengamatan yang sederhana dapat kita mengetahui beberapa sebab pengakuan palsu ini dalam beberapa hal berikut:
- Lemahnya Iman
Salah satu penyebab utama pengakuan palsu ini adalah lemahnya Iman seseorang terhadap akidah-akidah agama. Setiap orang yang mempunyai iman kuat tidak akan pernah menyimpang dari keinginan Imam Suci Ahlulbait As (untuk mengikuti duta mereka), hampir keseluruhan orang yang mengaku bahwa dia duta dari Imam Suci Ahlulbait As adalah mereka yang mempunyai iman yang lemah.
Syalmaghani adalah contoh dari salah seorang yang beriman lemah yang mengaku sebagai duta dari Imam Zaman As. Syalmaghani, salah satu sahabat Imam Hasan Askari As,seorang ilmuwan, guru dan ahli hadist di Bagdad pada masanya, serta penulis di mana terdapat banyak perkataan imam ma’sum dalam bukunya.[1]
Penyimpangan ini secara tidak langsung merubah keseluruhan pemikiran, akidah dan perlakuannya. Hal ini dapat dilihat dari perlakuannya dalam merubah, menambah dan mengurangi hadis sesuai dengan keinginannya. Najasyi dalam buku Rijalnya mengisyarahkan penyimpangan ini.[2]
- Tamak akan Harta Imam
Pada mula ghaibatnya Imam Zaman As (Ghaibah Shugra), terdapat sebagian orang dengan alasan tidak ingin menyerahkan harta Imam Zaman As kepada duta hakikinya, mengaku sebagai duta dari Imam Zaman As.
Abu Thahir Muhammad bin Ali bin Hilal adalah salah seorang yang dengan alasan untuk mengeruk dan mengumpulkan harta Imam Zaman As, mengaku sebagai duta Imam Zaman As. Pada awalnya ia merupakan seorang yang dipercaya oleh Imam Hasan Askari As dan ia pun menukil beberapa hadis dari Imam Hasan Askari As. Akan tetapi lama-kelamaan dikarekan ia mengikuti hawa nafsunya, ia pun mengambil jalan yang menyimpang hingga akhirnya ia pun dimurkai oleh Ahlulbait nabi. Dia tidak hanya mengaku sebagai duta dari Imam Zaman As akan tetapi ia pun mengingkari duta khusus kedua dari Imam Zaman As serta berkhianat terhadap harta Imam Zaman As yang terkumpul di tangannya yang seharusnya diserahkan kepada Imam Zaman As.[3]
Duta khusus kedua Imam Zaman As memudahkan jalan baginya untuk dapat bertemu secara langsung dengan Imam Zaman As dan Imam As pun memerintahkan untuk menyerahkan seluruh harta yang terkumpul di tangannya kepada dutanya, akan tetapi ia tetap dalam kesesatannya dan tidak menghiraukan perintah Imam As. Pada akhir hayatnya Imam As melaknat dan membencinya serta murka terhadapnya –seperti halnya Hallaj dan Syalmaghani-.[4]
- Keinginan untuk Menjadi Terkenal
Keinginan untuk menjadi terkenal dan masyhur juga merupakan salah satu sebab munculnya kepercayaan dan akidah yang menyimpang serta timbulnya mazhab-mazhab buatan. Keinginan untuk selalu terlihat besar dan menonjolkan diri merupakan salah satu sifat yang bertentangan dengan akhlak dan norma-norma yang dengannya manusia akan terseret ke dalam perbuatan-perbuatan yang tercela dan berbahaya.[5]
- Kepentingan dan tujuan Politik
Satu lagi sebab-sebab munculnya para pengklaim duta Imam Zaman As adalah tujuan politikan seseorang. Para musuh –untuk melemahkan kepercayaan umat Syiah dan memecahkan persatuan di antara mereka- secara langsung maupun tidak langsung membujuk dan mendorong sebagian orang untuk mengaku sebagai duta palsu dari Imam Zaman As.
Melalui jalan ini, para musuh Islam mendidik sebagian orang untuk melakukan pengakuan tersebut dan menyediakan segala fasilitas baginya dan menolongnya dengan berbagai cara, Ali Muhammad Bab adalah salah seorang contoh dari kejadian ini. (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan)
Catatan Kaki
[1]. Rijal Najasyi, jil. 2, hal. 229.
[2]. Syaikh Thusi, al-Fahrast, hal. 305. Rijal Najasyi, jil. 2, hal. 294.
[3]. Silahkan lihat, kitab al Ghayah, hal. 400.
[4]. Thabarsi, al-Ihtijaj, jil. 2, hal. 473.
[5]. Silahkan lihat, Tarikh al–Ghaibah al-Shugra, hal. 490.