ICC Jakarta – Di bulan Rajab ada satu peristiwa yang dikenal di masyarakat Indonesia dengan peringatan Isra dan Mikraj. Isra dan Mikraj adalah sebuah perjalanan agung yang di dalamnya Allah memperjalankan kekasih-Nya yaitu Rasulullah Muhammad saw dari Kota Makkah menuju ke Palestina, Baitul Maqdis. Lalu dari sana Allah memberangkatkan beliau dalam sebuah perjalanan mikraj menuju ke langit sampai berakhir di Sidratul Muntaha. Setelah itu beliau kembali lagi ke rumah beliau di Kota Makkah.
Pada kesempatan ini saya ingin berbicara mengenai Isra dan Mikraj dan hikmah yang ada di balik Isra dan Mikraj. Dalam masalah Isra dan Mikraj ada dua peristiwa, yang satu adalah peristiwa Isra yaitu Allah memperjalankan hamba-Nya dari suatu tempat ke tempat yang lain. Kedua, perjalanan Isra adalah perjalanan yang berlangsung di malam hari. Allah menjelaskan bahwa Allah telah memperjalankan nabi-Nya Muhammad saw dalam surah al-Isra ayat 1. Firman-Nya: Subhanallazi asraa bi’abdihi lailam minal-masjidilharaami ilal masjidilaqasallazi baarakna hawlahu linuriyahu min aayaatinaa. Dalam ayat ini Allah berfirman: “Mahasuci Allah, Mahasuci Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya di malam hari dari Masjidilharam menuju Masjidilaksa yang telah Kami berkati sekitarnya.” Tujuannya adalah linuriyahu min aayaatinaa, “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami”.
Dalam ayat ini Allah menyebut Rasulullah saw dengan sebutan hamba-Nya. Pembahasan mengenai mengapa Allah menyebut Rasulullah saw dengan hamba-Nya adalah pembahasan yang cukup panjang. Inti dari pembahasan itu adalah kata ‘abd atau hamba dinisbatkan kepada Allah adalah sebutan yang paling indah yang pernah Allah berikan kepada hamba-Nya kepada manusia.
Ketika Allah berfirman mengenai orang-orang yang telah melampaui batas, orang-orang yang telah berbuat dosa, orang-orang yang menimbun kemaksiatan dalam laporan amal perbuatannya, Allah mengatakan kepada mereka, “Kalian hamba-hamba-Ku, jangan berputus asa.” Ketika Allah mengatakan kepada hamba-hamba-Nya ini jangan berputus asa, Allah mengatakan kepada nabi-Nya, Yaa ‘ibaadiyal ladzii asrofuu ‘aala anfusihim laa taqnatahuu min rohmatillaah (Al-Zumar [39]:53), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku.” Allah menyebutkan hamba-hamba yang mana mereka telah asrofu, telah melampaui batas.
Ketika Allah menceritakan para nabi-Nya, misalnya tentang Nabi Nuh atau nabi-nabi yang lain sering kali Allah menyebutkan dengan sebutan ni’mal ‘abd, sebaik-baik hamba. Dan di dalam syahadah kita kepada Rasulullah saat kita salat kita juga mengucapkan, “Asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh”. Ini adalah sebutan dan pujian yang tertinggi bagi seorang manusia dari Allah.
Kisah Isra lalu dilanjutkan dengan kisah Mikraj. Kisah Mikraj juga disebutkan dalam Alquran al-Karim di dalam surah al-Najm ayat 18, Laqad ra’aa min aayaati rabbihil kubraa (Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar), yang sebelumnya dikatakan, Idz yaghshas sidrata maa yaghshaa (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya); Maa zaaghal basaru wa maa taghaa (Penglihatannya [Muhammad] tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak [pula] melampauinya, Laqad ra’aa min aayaati rabbihil kubraa (Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar).
Tentang perjalanan ke Sidratul Muntaha, Wa laqad ra’aahu nazlatan ukharaa, ‘inda sidratul muntaha, ‘indahaa jannatul ma’waa. Ini disebutkan oleh para ahli tafsir sebagai ayat-ayat yang menunjukkan kisah perjalanan Mikrajnya Nabi sampai ke Sidratul Muntaha. Dan ujung dari perjalanan Mikraj juga Allah mengatakan, Laqad ra’aa min aayaati rabbihil kubraa, Dia telah melihat ayat-ayat dan tanda-tanda kebesaran dari Tuhannya yang besar yang agung. Artinya, baik perjalanan Isra maupun perjalanan Mikraj ditujukan oleh Allah kepada nabi-Nya supaya Allah memperlihatkan tanda-tanda kebesaran kepadanya.
Di dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa salah satu tanda yang Rasulullah saw saksikan dalam perjalanan Isra dan Mikraj adalah beliau melihat seorang wanita tua yang cantik dan bersolek serta menggunakan segala perhiasan dengan baju yang sedemikian mewah dan perhiasan yang sedemikian memukau. Perempuan tua itu memanggil-manggil Nabi saw, lalu Nabi saw bertanya kepada Jibril yang bersama beliau, “Wahai Jibril siapakah dia?” Jibril menjawab, “Ya Rasulullah, dia adalah dunia yang sudah berumur tua tetapi selalu menyuguhkan keindahan-keindahan untuk menipu orang-orang yang ada di dunia, apakah mereka akan termakan tipuannya atau tidak.”
Tipuan Dunia
Pesan khotbah Jumat adalah pesan takwa. Karena pesan takwa inilah orang diingatkan supaya jangan sampai tertipu oleh ajakan atau tipuan dari dunia. Dalam surah Al-An’am ayat 32, Allah berfirman, Wa maall hayaatud dunyaa illa la’ibuw walahwu. Sesungguhnya kehidupan dunia ini adalah permainan dan kesia-siaan. Wa laddaarul aakhiratu khayrul lilladziina yattaquun. Dan rumah akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Afalaa ta’qiluun. Apakah kalian tidak menggunakan akal, apakah kalian tidak merenungkan?
Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa orang-orang mungkin akan tertipu oleh kehidupan duniawi, orang akan tertipu oleh gemerlap indahnya dunia, oleh godaan-godaan dunia Tetapi orang-orang yang bertakwa walaupun dia menyaksikan godaan dunia, dia lebih memilih untuk mengedepankan akhirat. Karena itulah, Allah mengatakan: Wa laddaarul aakhiratu khayrul lilladziina yattaquun. Bukan orang-orang yang bertakwa itu tidak melihat keindahan dunia, mereka menyaksikan keindahan dunia. Bukannya orang-orang yang bertakwa itu tidak digoda oleh dunia, mereka juga digoda, tetapi mereka tidak mau memenuhi ajakan dan panggilan dunia. Karena bagi mereka tujuan dari kehidupan ini bukan di dunia melainkan di akhirat. Apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib jelas sekali mengenai dunia, “Al-dunya mamarud daar laa daarul maqaar,” Dunia itu adalah tempat berlalu bukan tempat untuk tinggal.
Ketika orang yang bertakwa tahu kesalehan akan berbuntut kepada kehidupan yang abadi yang indah di akhirat nanti ia akan mengabaikan godaan dunia. Mereka telah mengenal apa itu dunia dan tipuannya. Dalam ayat 20 surah al-Hadid Allah berfirman, I’lamū annamal-ḥayātud-dun-yā la’ibuw wa lahwuw wa zīnatuw wa tafākhurum bainakum wa takāṡurun fil-amwāli wal-aulād,kamaṡali gaiṡin a’jabal-kuffāra nabātuhụ ṡumma yahīju fa tarāhu muṣfarran ṡumma yakụnu huṭāmā, wa fil-ākhirati ‘ażābun syadīduw wa magfiratum minallāhi wa riḍwān, wa mal-ḥayātud-dun-yā illā matā’ul-gurụr. (Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kalian serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu)
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia adalah permainan, adalah tipuan, adalah hiasan kehidupan dunia, adalah tafākhurum bainakum, saling berbangga bangga di antara kalian. Wa takāṡurun fil-amwāli wal-aulād,yakni saling berlomba untuk memperbanyak harta dan anak.
Dalam ayat ini Allah menyebutkan beberapa hal mengenai dunia. Pertama, bahwa dunia adalah permainan. Kita melihat permainan yang ada di dunia mungkin ketika kita di usia dewasa menyaksikan anak-anak kecil memiliki mainan mereka. Mereka bermain dengan alat-alat main mereka, kemudian kita mengatakan anak-anak kecil kehidupannya adalah dengan permainannya itu.
Padahal dalam kehidupan dunia kita juga terlibat dalam sebuah permainan yang tentunya modelnya dan caranya yang berbeda dengan permainan anak-anak. Jika anak-anak itu bermain dengan alat-alat main yang bisa dibeli di pasaran, maka permainan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa bukan lagi permainan alat-alat tersebut. Melainkan dia bermain dalam kehidupan ini dalam segala hal. Termasuk di antara permainannya adalah permainan bagaimana dia bisa mendapatkan posisi yang baik di tengah masyarakat dalam sebuah permainan. Kemudian ketika dia sudah mendapatkan posisi di tengah masyarakat dia akan mengeruk, menimbun keuntungan, menimbun kekayaan; wa takāṡurun fil-amwāli, mengumpulkan harta. Lalu ketika dia sudah mengumpulkan harta yang banyak, dia akan berbangga di hadapan orang lain, wa tafākhurum bainakum, saling berbangga-banggaan bahwa aku memiliki titel A, engkau tidak memiliki titel itu, aku memiliki harta si A, engkau tidak memiliki harta tersebut. Saling berbangga-bangga dan saling berlomba-lomba untuk memiliki kekayaan dan memiliki kedudukan. Itulah yang diingatkan oleh Allah jangan sampai tertipu. Dunia itu adalah lahwuw wa la’ib. Dan pada ayat ini Allah berfirman, wa mal-ḥayātud-dun-yā illā matā’ul-gurụr, Dan kehidupan dunia itu tak lain adalah hal-hal yang menyibukkan saja dan yang menipu.
Salah satu pesan yang disampaikan oleh Rasulullah saw, oleh para Imam maksum as adalah jangan sampai kita tertipu oleh godaan dunia. Perjalanan Isra dan Mikraj Rasulullah saw di antaranya melihat ayat dan tanda kebesaran ini.
Isra Mikraj dan Bi’tsah
Berbicara mengenai Isra dan Mikraj, ada suatu pembahasan dari sisi ilmiah. Apakah Isra Mikraj itu terjadi dalam satu malam ataukah dalam dua malam? Mengapa Allah dalam ayat mengatakan:Asraa bi’abdihi lailam minal masjidil haraam ilal masjidil aqsaa, yang berarti perjalanannya adalah dari Masjidilharam menuju ke Masjidilaksa? Padahal riwayat-riwayat menunjukkan bahwasanya beliau melakukan perjalanan Isra dari rumah beliau. Riwayat yang lain mengatakan beliau melakukan perjalanan Isra dari rumah Ummu Hani binti Abi Thalib. Riwayat yang lain, sesuai ayat, beliau berangkat Isra dari Masjidilharam.
Riwayat-riwayat ini sebenarnya bisa dikumpulkan dalam sebuah kesimpulan. Bahwa ketika Allah menceritakan perjalanan Rasulullah saw dalam Isra itu dari Masjidilharam, artinya tempat-tempat yang berdekatan dengan Masjidilharam juga bisa diliputi oleh ayat ini. Artinya, Allah menyebut rumah Ummu Hani atau rumah Rasulullah saw yang berdekatan dengan Masjidilharam disebutnya sebagai Masjidilharam. Dengan kata lain, Allah sedang berfirman perjalanan ini terjadi dari Kota Makkah menuju Baitulmakdis. Dan Kota Makkah itu meliputi seluruh isinya termasuk di antaranya adalah Masjidilharam, dan rumah Ummu Hani, atau rumah Rasulullah saw.
Ada lagi pembahasan mengenai apakah Isra dan Mikraj itu terjadi bersamaan di satu malam ataukah tidak. Yang jelas apa pun yang kita yakini, baik kita meyakini Isra dan Mikraj terjadi pada satu malam maupun Isra dan Mikraj adalah dua peristiwa yang terjadi pada dua waktu yang berbeda. Yang pasti, kedua perjalanan itu pernah terjadi pada diri Rasulullah saw. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pada tanggal 27 Rajab yang diperingati di kebanyakan wilayah di Indonesia dengan peringatan Isra dan Mikraj?
Para pengikut Ahlulbait memperingati tanggal 27 Rajab sebagai peristiwa bi’tsahh. Apakah peristiwa bi’tsahh yang terjadi pada tanggal 27 Rajab juga peristiwa Isra Mikraj terjadi pada tanggal 27 Rajab? Jawabannya mungkin saja. Peristiwa bi’tsah terjadi pada tanggal 27 Rajab dan begitu pula peristiwa Isra Mikraj. Jika terjadi bersamaan di satu malam juga terjadi pada tanggal 27 Rajab tapi tahunnya berbeda. Tahun bi’tsah-nya Rasulullah saw adalah tahun pertama bi’tsah yaitu saat beliau berumur 40 tahun. Sementara masyhur di kalangan para ulama Ahlusunnah peristiwa Isra dan Mikraj terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 10 kenabian, yakni 10 tahun setelah Rasulullah saw menjadi nabi atau dengan kata lain setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah al-Kubra. Mereka adalah dua orang yang menjadi benteng Nabi saw dalam menyebarkan ajaran Allah dan mengajak umat kepada tauhid.
Kita berharap kepada Allah semoga Isra dan Mikraj dan spirit Isra’ Mikraj atau spirit bi’tsah-nya Rasulullah bisa mewarnai kehidupan kita. Apalagi Rasulullah saw mengenai bi’tsah beliau. Beliau mengatakan, Innama bu’istu liutammima makarimal akhlak. Sesungguhnya aku diutus oleh Allah tidak lain adalah untuk menyempurnakan makarimal akhlak.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang selalu mengikuti jejak Rasulullah saw, meneladani beliau dan bisa menghiasi diri kita dengan makarimul akhlak sebagaimana beliau telah menghiasi dirinya dengan makarimul akhlak.
Bulan Sya’ban
Salah satu akhlak mulia adalah melakukan apa yang diperintahkan dan dianjurkan Nabi saw. Bulan Syakban adalah bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang sangat dicintai oleh Rasulullah saw. Beliau mengatakan, “Aku mencintai bulan Syakban. Karena itu, bantulah aku dengan kecintaan kalian kepada bulan Syakban ini dengan cara berpuasa di bulan Syakban.”
Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan dari Imam Zainal Abidin, Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Semenjak Rasulullah saw mengumumkan, menganjurkan untuk berpuasa di bulan Syakban dan mengatakan ‘bahwasanya aku mencintai bulan Syakban, maka puasalah kalian di bulan Syakban karena kecintaan kalian kepadaku’, sumpah aku tidak pernah meninggalkan puasa Syakban.” Untuk bisa melaksanakan puasa Syakban tentunya perlu taufik dari Allah.
Dan yang menarik pula, bulan Syakban adalah satu-satunya bulan di antara bulan-bulan hijriah yang tidak ada (tanggal) wafatnya para Imam di bulan tersebut. Sementara bulan Muharam adalah bulan yang di dalamnya tidak ada kelahiran seorang Imam pun di bulan itu. Artinya, bulan Syakban adalah bulan penuh dengan keceriaan, sementara bulan Muharam adalah bulan yang penuh dengan duka.
Secara berurutan milad atau kelahiran tiga manusia agung yaitu Imam Husain as, Abu Fadhl Abbas dan Imam Zainal Abidin semuanya terjadi pada bulan Syakban. Baru kemudian di pertengahan bulan Syakban kita akan memperingati milad Imam Mahdi as. Ini semua adalah peringatan-peringatan yang memberikan kegembiraan dan keceriaan kepada kita semua.
Sangat menarik tiga orang yang menjadi saksi peristiwa Karbala yaitu Imam Husain as, Abu Fadhl Abbas, dan Imam Zainal Abidin lahir di bulan yang sama dan di waktu yang berdekatan. Apa rahasia yang ingin Allah sampaikan kepada kita tentang ini? Allah ta’ala yang lebih tahu apa rahasianya.[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Ustaz Hafidh Alkaf, Jumat 12 Maret 2021, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.