ICC Jakarta – Selanjutnya setelah membahas tauhid dalam Zat, Sifat, dan Penciptaan, tingkatan tauhid yang keempat adalah tauhid dalam ibadah. Tauhid dalam ibadah adalah satu prinsip dan ajaran inti yang dibawa oleh para nabi yang pernah Allah utus kepada umat manusia. Artinya, seandainya dikatakan apa inti dari ajaran yang dibawa oleh para nabi, jawabannya adalah menyeru umat manusia kepada penyembahan dan penghambaan kepada Allah Swt. Karena itu, di dalam surah al-Nahl (16) ayat 36, Allah Swt berfirman, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu”. Yakni, sungguh Kami telah mengutus rasul pada setiap umat dengan dua tujuan: pertama, sembahlah Allah; dan kedua, tinggalkan setan dan tagut-tagut, baik tagut berupa setan maupun tagut yang berupa manusia.
Masing-masing dari kita setidaknya setiap hari mengucapkan iyyaka na’budu yang berarti, “ya Allah, hanya kepadaMu-lah kami menyembah.” Bahwa menyembah Allah yang Maha Esa adalah suatu prinsip yang harus dijaga tidak ada perselisihan di dalamnya.Yang menjadi permasalahan adalah apakah hal-hal lain yang berhubungan dengan penghormatan, pengagungan seseorang, atau berziarah kubur kepada orang-orang yang telah meninggal, apakah dianggap sebagai bagian dari ibadah. Di sini perlu kita jelaskan bahwa apa sebenarnya yang menjadi tolok ukur bahwa suatu perbuatan itu disebut dengan ibadah, sementara perbuatan yang lain tidak disebut sebagai ibadah.
Tidak ada seorang pun dari kita yang meragukan bahwa menyembah ayah, ibu, menyembah para nabi, menyembah para malaikat, menyembah para wali-wali Allah adalah perbuatan syirik dan haram. Meskipun demikian, Allah Swt di dalam ayat suci-Nya dan firman-firman agung-Nya memerintahkan kita untuk menghormati sekelompok orang yang salah satunya adalah ayah dan ibu. Di dalam surah al-Isra (17) ayat 23 Allah Swt berfirman, Wa qaḍā rabbuka allā ta’budū illā iyyāhu wa bil-wālidaini iḥsānā. Allah telah menetapkan kepada kalian, janganlah kalian menyembah kecuali Allah dan hendaknya kalian berbuat baik, melakukan ihsan kepada ayah dan ibu.
Alquran al-Karim menceritakan kepada kita bahwa para malaikat bersujud kepada Nabi Adam as. Ayat-ayat Alquran juga menjelaskan kepada kita bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf sujud kepada Yusuf. Kedua amal perbuatan yang berbentuk sujud ini tidak dianggap sebagai syirik dan tidak disalahkan bahkan bisa disebut sebagai tauhid. Sementara sujud kepada selain-Nya disebut sebagai syirik. Sebenarnya apa yang memisahkan dan membedakan antara sujudnya Adam, sujudnya para malaikat kepada Adam, dan sujudnya saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf, dengan sujud-sujud yang dianggap sebagai ibadah kepada selain Allah? Yang membedakan antara dua hal tersebut adalah bahwa sesuatu bisa disebut ibadah kepada selain Allah jika dilakukan dengan keyakinan bahwa yang dia hormati, yang dia sujudi adalah sesuatu yang memiliki kendali atas kehidupan manusia, atau kendali atas alam. Ini bisa dikatakan bahwa yang disujudi adalah yang memiliki kriteria Tuhan dengan keyakinan bahwa dia sujud kepada Tuhan, maka penghormatan itu disebut sebagai ibadah.
Sujudnya para malaikat kepada Adam atau sujudnya putra-putra Ya’qub kepada saudaranya Yusuf, adalah dengan keyakinan bahwa yang disembah adalah Allah.Mereka hanya meyakini Tuhan itu adalah Allah yang menciptakan mereka dan yang mengendalikan mereka serta alam adalah Allah. Mereka sujud dalam rangka menghormati dan itu adalah salah satu perintah untuk menghormati bukan dalam rangka untuk beribadah kepada mereka yang sujudi.
Karena itu, dengan parameter yang sudah kita ketahui, maka yang dilakukan oleh kaum muslimin saat mereka berada di makam-makam suci, semisal makam nabi dan makam para Imam maksum as atau di makam orang-orang saleh atau penghormatan yang dilakukan oleh kaum muslimin saat mereka menggelar acara maulid Nabi, atau penghormatan orang-orang Islam kepada ayah dan ibu, semua itu tidak tergolong sebagai penyembahan. Itu adalah perbuatan yang mereka lakukan karena penghormatan kepada yang mereka hormati, bukan sebagai bentuk penyembahan. Hal ini karena mereka melakukan itu tidak atas dasar keyakinan bahwa yang mereka hormati dan mereka agungkan itu adalah Tuhan yang memegang kendali atas kehidupan alam dan manusia.
Beda halnya dengan sujud yang dilakukan oleh orang-orang musyrik khususnya di zaman Nabi saw. Mereka sujud di hadapan patung-patung karena mereka meyakini patung-patung tersebut memberikan manfaat kepada mereka. Patung-patung itulah yang memberikan kehormatan dan kemuliaan kepada mereka. Patung-patung itulah yang mengendalikan sebagian dari urusan kehidupan mereka. Dengan keyakinan seperti ini mereka sujud di hadapan patung-patung dan itu adalah penyembahan terhadap patung-patung tersebut. Berbeda dengan penghormatan seseorang kepada orang lain atau penghormatan seseorang, misalnya, kepada manusia-manusia suci yang dilakukan bukan dengan keyakinan yang dihormati sebagai Tuhan tapi hanya karena penghormatan semata, itu tidak bisa digolongkan sebagai ibadah atau penyembahan.
Tauhid Rububiyah
Tingkatan kelima dari tauhid adalah tauhid dalam rububiyah atau dalam pengendalian alam. Yang dimaksud dengan tauhid dalam rububiyah adalah kita meyakini ketika Allah Swt menciptakan alam. Itu adalah tauhid mengesakan Allah terhadap penciptaan. Setelah Allah menciptakan alam, pengendalian alam ini berada di tangan Allah. Itulah yang disebut dengan tauhid di dalam rububiyah. Walaupun arti antara penciptaan khalq dengan rububiyah pengendalian atau pengelolaan itu berbeda, keduanya dilakukan oleh Allah Swt dan kita mengesakan Allah dalam dua hal tersebut.
Jika dalam kehidupan manusia antara membuat atau mendirikan sesuatu berbeda dengan mengelolanya, misalnya seseorang yang membangun sebuah gedung atau sebuah proyek setelah pembangunan itu selesai pengelolaan proyek akan diberikan atau pengelolaan gedung itu diberikan kepada orang lain, ini adalah sesuatu yang layak dan wajar terjadi dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, mengenai alam, Allah yang menciptakan alam ini dan Allah-lah yang mengelola dan mengendalikan alam ini.
Sejarah para nabi menceritakan kepada kita bahwa umat para nabi semuanya meyakini alam adalah ciptaan Allah Swt, tidak ada yang meragukan hal itu. Hanya saja mereka punya masalah dalam terkait dengan pengendalian dan pengelolaan alam. Mereka meyakini bahwa setelah Allah menciptakan alam, pengendalian alam ini atau pengelolaannya diserahkan, sebagian menyatakan, kepada matahari, diserahkan kepada bintang; ada pula yang mengatakan diserahkan kepada bulan; dan ada pula yang mengatakan diserahkan kepada berhala-berhala. Atas dasar itulah, Allah Swt menceritakan syiriknya orang-orang tersebut dan mereka menyembah patung-patung, bulan, bintang, dan matahari karena meyakini yang mereka sembahlah yang mengelola dan mengendalikan alam ini. Allah Swt dalam surah al-An’am ayat 76-78 menceritakan hal tersebut, “Apakah tuhan-tuhan yang mereka kira itu lebih baik daripada Tuhan yang Maha Esa dan Maha Berkuasa?”
Di zaman Nabiyullah Yusuf as—yang zaman kehidupan beliau adalah setelah zaman Nabi Ibrahim—Nabi Yusuf berhadapan dengan suatu kaum yang walaupun mereka memercayai pencipta alam adalah Allah, tetapi mereka meyakini pengendalian alam ada di tangan tuhan-tuhan lain, bukan di tangan Allah. Karena itu, dalam surah Yusuf ayat 39 Allah swt menceritakan bahwa Nabi Yusuf mengatakan kepada umatnya, kepada dua orang bersama beliau di dalam penjara, a arbābum mutafarriqụna khairun amillāhul-wāḥidul-qahhar. (“manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?”) Apakah tuhan yang berjumlah banyak itu lebih baik bagi kalian, ataukah Tuhan yang Maha Esa? Ayat ini menunjukkan bahwasanya sebenarnya mereka meyakini adanya Allah yang Maha Pencipta tetapi masalah pengendalian alam mereka meyakininya berada di tangan tuhan-tuhan yang lain.
Di zaman risalah Nabi Muhammad saw, kaum musyrik di zaman itu mereka juga meyakini Allah Swt sebagai Tuhan yang menciptakan alam, tetapi pengendalian alam menurut mereka berada di tangan tuhan-tuhan yang lain. Karena itu, mereka mencintai tuhan-tuhan tersebut. Allah Swt telah menceritakan hal itu dalam surah al-Baqarah ayat 165, Wa minan-nāsi may yattakhiżu min dụnillāhi andāday yuḥibbụnahum kaḥubbillāh. Ada di antara manusia orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu bagi Allah dan mereka mencintai mereka seperti kecintaan mereka kepada Allah.
Bahkan, lebih dari itu, sebagian orang musyrik meyakini bahwa hal-hal yang bersifat dengan pengendalian alam masih di tangan Allah, tetapi hal-hal lain berada di tangan yang lain. Misalnya dalam surah Yunus ayat 31, Allah Swt menceritakan, Qul may yarzuqukum minas-samā`i wal-arḍi am may yamlikus-sam’a wal-abṣāra wa may yukhrijul-ḥayya minal-mayyiti wa yukhrijul-mayyita minal-ḥayyi wa may yudabbirul-amr, fa sayaqụlụnallāh, fa qul a fa lā tattaqụn. Katakanlah (wahai Nabi) kepada orang-orang musyrikin itu, “Siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian yang rezeki itu turun dari langit, siapakah yang memiliki dan menguasai pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengendalikan perkara-perkara itu?” Mereka menjawab semua itu ada di tangan Allah.
Ini menunjukkan bahwasanya mereka sebenarnya meyakini bahwa sebagian besar urusan ada di tangan Allah, tetapi masih tetap ada beberapa hal yang mereka yakini ada di tangan selain Allah.
Sebagian orang-orang musyrik ketika ditanya, “Mengapa kalian menyembah berhala-berhala ini?” Mereka mengatakan bahwasanya mereka mendatangkan dalil-dalil dan beralasan bahwa kami menyembah berhala-berhala ini bukan karena kami meyakini mereka Tuhan, tetapi demi supaya kami bisa mendekatkan diri kepada Allah. Inilah yang menjadi jawaban mereka saat ditanya mengapa mereka menyembah berhala.
Karena itu, dari penjelasan tadi bisa disimpulkan mungkin saja orang meyakini alam diciptakan oleh Allah dan mereka mengesakan Allah dalam penciptaan, tetapi mereka meyakini hal yang bersifat kesyirikan dalam urusan pengelolaan alam ini. Mereka meyakini bahwa sebagian alam atau urusan alam secara penuh berada di tangan selain Allah. Inilah yang bertentangan dengan tauhid dalam rububiyah.
Kita harus mawas diri dan berhati-hati dalam masalah tauhid atau pengesaan Allah yang berhubungan dengan rububiyah. Karena bisa jadi aroma dari kesyirikan dalam rububiyah ini hinggap pada diri kita. Misalnya, bisa jadi kita merasa dalam kehidupan kita bahwa harta, pangkat, keluarga, atau mungkin atasan kita berpengaruh pada kehidupan kita, sehingga kita merasa bahwasanya kalau saya meminta bantuan si fulan, maka si fulan pasti akan memberikan sesuatu kepada saya. Jika saya mendekati si fulan atau membujuk si fulan, maka hidup saya akan berubah. Jika orang meyakini hal semacam itu, bisa jadi dia terjebak dalam masalah syirik dalam rububiyah. Tentunya bukan dengan makna yang khusus melainkan dalam makna yang umum. Dan, itulah yang harus kita hati-hati dalam menghadapinya.
Dalil tentang tauhid dalam rububiyah ini adalah bahwa antara pengelolaan dan pengendalian alam tidak bisa dipisahkan dari penciptaan alam. Ketika menciptakan, penciptaan itu tidak bisa lepas dari pengendalian. Ketika akan dilepas oleh Allah, maka penciptaan itu akan dengan sendirinya akan berakhir. Karena itulah, kita meyakini bahwa selain Allah itu menciptakan, Allah juga mengendalikan dan mengelola alam ini.
Tauhid dalam Kepemimpinan
Tingkatan keenam tauhid adalah tauhid di dalam kekuasaan atau kepemimpinan dan tauhid di dalam pembuatan perundang-undangan. Artinya, bahwa sebagaimana kita mengesakan Allah dalam hal Zat, Sifat, dan dalam hal rububiyah-nya, kita juga harus bertauhid dan mengesakan Allah. Dengan meyakini bahwa yang paling berhak untuk mengendalikan kita adalah Allah Swt; yang paling berhak membuat perundang-undangan untuk kita dan aturan kehidupan yang harus kita laksanakan adalah Allah. Tentunya Allah pasti akan membuat aturan yang menguntungkan makhluk-Nya.
Artinya, ketika seseorang mengesakan Allah dalam masalah hakiki atau kepemimpinan dan pembuatan undang-undang, orang tersebut harus juga meyakini bahwasanya tidak ada selain Allah yang berhak untuk membuat aturan dan berhak untuk ditaati secara mutlak kecuali Allah atau kecuali dia mendapatkan izin dari Allah Swt. Tidak ada sesuatu yang akan dan berhak memberikan syafaat kecuali yang mendapat izin dari Allah. Tidak ada yang akan mengampuni kecuali ada izin dari Allah.
Karena itu, ketika kita diperintahkan oleh Allah Swt untuk taat dan patuh kepada Nabi—atau umat-umat yang lalu diperintahkan untuk patuh dan taat kepada nabi-nabi mereka—kita pun harus taat dan patuh tanpa ada penentangan. Ketahuilah bahwa ketaatan mutlak kita kepada Nabi adalah karena Allah yang memerintahkannya. Dalam surah al-Nisa ayat 80 Allah Swt berfirman, Barang siapa menaati Rasul berarti dia telah menaati Allah. Di dalam surah al-Nisa ayat 64 Allah juga berfirman, Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Kami tidak mengutus seorang rasul pun kecuali untuk ditaati oleh kaumnya itupun dengan izin Allah Swt.
Demikian pula masalah syafaat, tidak ada yang berhak memberikan syafaat kecuali Allah atau yang mendapat izin dari Allah Swt. Dalam surah al-Baqarah ayat 255 Allah berfirman, Siapakah yang bisa memberikan syafaat di sisi Allah kecuali dengan izin dari-Nya,atau juga dalam surah al-Anbiya ayat 28 Allah berfirman, Allah mengetahui segala sesuatu yang d ihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Mereka tidak bisa memberikan syafaat kecuali yang bisa memberikan syafaat adalah orang yang diberi izin oleh Allah Swt. Demikian pula dalam urusan penghapusan dosa atau pengampunan dosa, yang bisa mengampuni dosa hanyalah Allah Swt.[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Direktur ICC Dr. Abdulmajid Hakimelahi, Jumat 22 Januari 2021, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.
[wad_recents category=’Khutbah Jumat’ max=5]