Mutarjim: Ustadz Ahmad Hafidh Alkaf
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Setelah memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah serta menyampaikan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam beserta keluarga beliau yang suci, saya mewasiatkan kepada diri saya dan kepada mukminin-mukminat dengan pesan takwa. Hari ini adalah hari Jumat, dan besok kita akan memperingati syahadat Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib alaihis salam. Syahadah beliau berarti kita kehilangan ayah kita, kita kehilangan ayah anak-anak yatim, kita kehilangan khalifah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tidak ada catatan dalam sejarah semenjak Islam muncul hingga sekarang tentang adanya seorang manusia yang sedemikian dicintai oleh semua orang, dengan berbagai macam kecenderungan pemikiran, mazhab, dan keyakinannya, seperti Imam Ali bin Abi Thalib alaihis salam.
Pertanyaannya adalah, apa yang menjadi rahasia orang-orang itu, dengan berbagai macam kecenderungan, bisa mencintai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib? Yang pertama adalah kecintaan orang-orang yang meyakini, dari kalangan orang-orang yang taat kepada Allah, orang-orang yang saleh. Kalau kita membicarakan tentang orang-orang saleh yang mencintai Ali bin Abi Thalib, terlalu banyak contohnya. Salah satunya adalah kisah Hujr bin Adi. Suatu kali, Muawiyah bin Abi Sufyan memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menangkap Hujr bin Adi al-Kindi bersama dengan para sahabatnya. Mereka kemudian ditangkap dan dimasukkan ke dalam suatu sel atau tahanan. Besok harinya adalah hari eksekusi, dan mereka akan dibunuh satu per satu. Ketika mereka dikumpulkan di suatu tempat, tentara atau prajurit Muawiyah mengatakan kepada mereka, “Kami mendapatkan perintah dan instruksi untuk memberikan kepada kalian kesempatan supaya kalian bisa bebas dari kematian, yaitu kalian harus melaknat Ali bin Abi Thalib dan berlepas tangan dari Ali.” Mereka semuanya menolak. “Kalau seandainya kalian menolak, maka tidak ada cara lain kecuali kami harus membunuh kalian.” Lalu kemudian digali kubur untuk mereka semua. Satu per satu, sahabat-sahabat Hujr bin Adi dibunuh.
Pada saat itu, sebelum kejadian eksekusi tersebut, Hujr bin Adi meminta kepada prajurit Muawiyah untuk diberi kesempatan berwudhu dan salat. Dia mengatakan, “Aku tidak pernah wudhu kecuali setelah wudhu aku melaksanakan salat.” Hujr pun berwudhu dan salat. Tidak lama kemudian, dia mengatakan, “Aku tidak pernah seumur hidupku merasakan salat yang seringan ini. Seandainya aku tidak takut dianggap takut akan kematian, maka aku akan memperlama dan akan memperbanyak salatku.” Sampai kemudian, ketika para sahabat Hujr dibunuh satu per satu, tibalah giliran Hujr bin Adi. Hujr kemudian mengatakan kepada prajurit yang akan membunuhnya, “Apakah engkau juga menerima perintah untuk membunuh anakku? Jika engkau mendapat perintah untuk membunuh anakku, bunuh anakku terlebih dahulu di hadapan mataku.” Lalu kemudian itu pun terjadi, dan anak Hujr bin Adi dibunuh di hadapan sang ayah.
Prajurit Muawiyah lalu kemudian mengatakan, “Betapa kerasnya hatimu, wahai Hujr! Berani dan siap untuk menyaksikan anakmu menggelepar mati di hadapan matamu.” Hujr menjawab, “Sesungguhnya yang aku takutkan adalah ketika engkau membunuhku pertama kali, dan anakku menyaksikan pedang menempel di leherku dan melepaskan kepalaku dari badanku, anakku akan kemudian berlepas tangan dari Ali bin Abi Thalib karena ketakutan melihat kondisi semacam itu. Kalau sekarang, aku lega karena anakku dalam keadaan di wilayah Amirul Mukminin, dan sekarang tibalah giliran untuk menyongsong kematianku.”
Itu tadi adalah kisah orang yang ahli takwa, ahli kesalehan, yang mencintai Ali. Tentunya Anda pernah mendengar bagaimana ada orang yang melakukan maksiat, tapi dia cinta kepada Ali. Suatu kali, ada seorang pencuri yang dihadapkan kepada Ali bin Abi Thalib. Ketika berada di hadapan Ali dan mengaku, “Wahai Ali, wahai Amirul Mukminin, aku telah mencuri,” ini adalah pengakuan, bukan karena ada orang yang menyaksikan. Imam Ali alaihissalam berusaha supaya dia mencabut kembali pengakuannya agar tidak dipotong tangannya. Sebab, kalau pengakuannya sudah diterima, maka dia akan dipotong tangannya. Imam tidak mau orang itu dipotong tangannya, berusaha Imam untuk memalingkan dia dari pengakuan itu, tapi dia tetap pada keyakinannya bahwa dia adalah orang yang telah mencuri dan siap untuk dipotong tangannya. Akhirnya, tangan dia pun dipotong oleh Amirul Mukmin Ali alaihissalam. Setelah pemotongan tangan itu selesai, orang tersebut membawa potongan tangannya dengan tangannya yang lain dan berjalan di tengah kerumunan manusia. Seorang bertanya kepadanya, “Wahai fulan, siapa yang memotong tanganmu?” Dia menjawab, “Yang memotong tanganku adalah kekasihku, tuanku Amirul Mukminin, pemimpin orang-orang yang bertakwa, Ali bin Abi Thalib.” Orang yang bertanya itu kemudian heran, “Dia memotong tanganmu, lalu kau memujinya?” Orang tersebut menjawab, “Bagaimana aku tidak memujinya, sementara cinta kepada Ali telah menyatu dengan hatiku, dengan darah dan dagingku.”
Jika mungkin kisah yang tadi diceritakan adalah orang-orang yang memang mengikuti dan masuk dalam kelompok syi’ahnya Amirul Mukminin, mari saya berikan beberapa contoh yang banyak. Saya akan sebutkan satu contoh saja dari orang-orang yang bukan berasal dari mazhab Syiah Imamiyah, bukan dari kalangan Syiah Ali bin Abi Thalib. Dia adalah seorang ulama besar dari kalangan Ahlussunnah bernama Imam an-Nasa’i, penulis salah satu Kutubus Sittah, kitab-kitab hadis Ahlussunnah. An-Nasa’i ketika melihat bahwa penduduk Syam begitu benci kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, dia melihat bahwa ini merupakan hasil dari apa yang telah dilakukan oleh Bani Umayyah dalam memutarbalikkan fakta dan memunculkan kebencian kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. An-Nasa’i kemudian menulis buku, berceramah, dan menyampaikan fadhail (keutamaan-keutamaan) Amirul Mukminin di Syam, sampai kemudian dia diancam, “Anda berhenti untuk menyebutkan keutamaan-keutamaan Ali, atau Anda harus melewati hal-hal yang tidak diinginkan.” An-Nasa’i tidak peduli dengan ancaman itu, sampai akhirnya dia meninggal dan terbunuh karena kecintaannya kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Jika tadi yang disebutkan adalah dari kelompok kaum Muslimin, kita coba tengok kelompok yang bukan Muslim. Bagaimana kecintaan mereka kepada Ali bin Abi Thalib? Mungkin kita sering mendengar adanya penulis-penulis dan cendekiawan-cendekiawan Kristen yang menulis tentang keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Misalnya, seorang penyair dari Lebanon yang beragama Kristen bernama Bolussalamah. Beliau memiliki kumpulan syair dalam memuji Imam Ali bin Abi Thalib. Dalam salah satu syairnya, beliau mengatakan, “Jangan engkau katakan bahwasanya hanya Syiah yang mencintai Ali. Setiap orang yang jujur pasti dia memiliki benih-benih Syiah pada dirinya. Dia adalah keutamaan dalam sejarah kebanggaan sejarah, bukan kebanggaan sekelompok orang saja yang mengaku bahwasanya dia mengikuti dan memilihnya sebagai wali. Hak kebenaran telah memasuki hati seorang Nasrani, sampai karena kecintaannya kepada Ali, dia disebut sebagai seorang Alawi.”
Pertanyaannya, mengapa mereka mencintai Ali? Mengapa orang-orang Syiah, baik yang ahli taat maupun ahli maksiat, mencintai Ali? Bagaimana orang-orang Ahlussunnah juga mencintai Ali? Dan bagaimana pula orang-orang non-Muslim mencintai Ali, bahkan orang-orang Kristen? Saya bahkan sering mendengar kisah orang-orang Buddha dan orang-orang Hindu yang menyebutkan kecintaan mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Apa yang membuat mereka mencintai Ali? Mungkin ada orang yang akan mengatakan, bagi orang-orang Muslim, mencintai Ali adalah suatu hal yang wajar, sebab Al-Qur’anul Karim mendorong umat Islam untuk mencintai Ali bin Abi Thalib. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “Qul lā as’alukum ‘alaihi ajran illal-mawaddata fil-qurbā.” Katakanlah, wahai Rasulullah, “Aku tidak meminta upah apapun dari kalian kecuali kecintaan kalian kepada kerabatku.” Ketika ayat ini turun, riwayat dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, siapakah yang dimaksud dengan kerabatmu di ayat ini?” Rasulullah menjawab, “Mereka adalah Ali, Fatimah, dan kedua putra Fatimah.”
Kecintaan kepada Imam Ali bin Abi Thalib juga didukung oleh banyak sekali riwayat-riwayat dari Rasulullah yang mendorong orang untuk mencintai Ali bin Abi Thalib, didorong pula oleh keutamaan-keutamaan yang disampaikan dalam hadis-hadis tentang Ali bin Abi Thalib. Saya ingin menyebutkan beberapa riwayat dari kitab-kitab hadis Ahlussunnah, misalnya riwayat yang dibawakan oleh al-Kharizmi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam meriwayatkan itu bersabda bahwa malaikat pencabut nyawa akan menunjukkan kasih sayangnya saat mencabut nyawa kepada pecinta Ali, sama seperti sikap yang mereka tunjukkan saat mencabut nyawa para Anbiya.
Riwayat yang lain masih dari kitab hadis kumpulan al-Kharizmi, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mencintai Ali, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menerima salatnya, puasanya, dan ibadah qiyamullailnya, serta akan memenuhi dan menjawab doa-doanya.” Sesungguhnya, orang yang mencintai Ali bin Abi Thalib, Allah subhanahu wa ta’ala akan menganugerahkan kepadanya untuk setiap tetesan keringat yang keluar dari badannya, suatu kota di surga kelak di hari kiamat. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Kalau semua orang sepakat untuk mencintai Ali bin Abi Thalib, maka Allah tidak akan pernah menciptakan neraka.”
Tentunya ayat-ayat suci dan riwayat-riwayat yang dibacakan, ataupun juga puluhan riwayat dan hadis-hadis lain yang tersebar dalam kitab-kitab hadis, mendorong orang-orang Muslim untuk mencintai Ali bin Abi Thalib. Tetapi bagaimana dengan orang-orang non-Muslim? Bukankah orang-orang Kristen, orang-orang Buddha, dan orang-orang atheis yang tidak mengenal agama, mereka tidak menerima Al-Qur’anul Karim dan tidak menerima apa yang disabdakan oleh Nabi? Lalu mengapa mereka tetap mencintai Ali? Apa dorongan mereka untuk mencintai Ali, sementara ayat suci dan hadis Nabi tidak berpengaruh pada mereka sama sekali?
Untuk mengetahui mengapa ada kecintaan di hati mereka kepada Amirul Mukminin, kita perlu mengetahui apa makna cinta sebenarnya. Para ‘urafa dan para filosof mengatakan bahwa yang namanya cinta adalah kecenderungan hati untuk mendapatkan kesempurnaan yang ada pada yang dicintai. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan manusia suatu kecintaan untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan akan dia dapatkan karena kesempurnaan merupakan keindahan. Karena itu, manusia secara alamiah dan secara fitrahnya akan mencintai kebaikan, kejujuran, kesetiaan, keberanian, keadilan, kemuliaan, dan kedermawanan. Semua ini adalah kesempurnaan di mata manusia, karena itu manusia mengintai dan menyukai sifat-sifat tersebut.
Nilai-nilai etika dan nilai-nilai kesucian yang tadi disebutkan adalah kesempurnaan manusia, yang secara fitrahnya terdorong untuk mengikuti kesempurnaan. Di mana ada kesempurnaan, dia pasti akan mencintai dan menyukai kesempurnaan itu. Ada kecenderungan hati untuk mencintainya, walaupun dalam bertindak, orang kadang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dia yakini. Kalau seandainya kita bayangkan orang yang paling sengsara, orang yang paling jahat di dunia sekalipun, orang yang paling buruk di dunia, kalau kita tanya ada dua orang: satu orang yang jujur dan satu pembohong, mana di antara keduanya yang akan engkau pilih? Dia pasti akan memilih orang yang jujur. Jika kita melihat orang yang paling jahat di dunia pada saat ini, yaitu Netanyahu, dan kita tanya kepadanya, “Kalau ada orang yang dermawan dan satu lagi orang yang kikir, mana yang lebih engkau sukai?” Dia pasti akan mengatakan orang yang dermawan yang disukai. Ini adalah nilai-nilai akhlak yang ada pada diri manusia yang dicintai oleh manusia, karena manusia melihat itu sebagai kesempurnaan.
Ali bin Abi Thalib memiliki semua kesempurnaan itu, karena itu manusia secara fitrahnya akan terdorong untuk mencintai Ali. Mencintai pada diri ahli kesempurnaan-kesempurnaan tersebut bisa dikatakan bahwa Ali adalah manifestasi dari segala kesempurnaan yang bisa dicapai oleh seorang manusia. Tak heran jika dalam sebuah riwayat, dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat Adam alaihissalam dalam ilmunya, siapa yang ingin melihat Nuh dalam ketakwaannya, siapa yang ingin melihat Ibrahim dalam kelemah lembutan dan kesabarannya, siapa yang ingin melihat Isa dalam ibadahnya, hendaknya dia melihat Ali bin Abi Thalib.” Artinya adalah bahwa Ali bin Abi Thalib mengumpulkan semua kesempurnaan-kesempurnaan yang ada pada para Nabi.
Khotbah Kedua
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Setelah memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah dan menyampaikan shalawat serta salam kepada Rasulullah dan keluarganya yang suci, serta para Imam yang Maksum Alaihissalam, kembali saya mewasiatkan kepada diri saya dan kepada mukminin mukminat dengan pesan takwa. 2/3 dari bulan Ramadhan telah lewat, tersisa hanya 10 hari atau kurang dari 10 hari di hadapan kita. Usahakan kita untuk bisa memanfaatkan sisa hari-hari di bulan Ramadhan ini dengan sebaik-baiknya, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diwayatkan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, beliau melipat tempat tidur beliau lalu kemudian berada di masjid, i’tikaf di masjid, mendirikan semacam tenda di dalam masjid, dan menyibukkan dirinya dengan beribadah di 10 hari terakhir itu.
Jumat depan, insya Allah, kita akan bersama-sama memperingati Hari Quds Internasional, Hari Quds Sedunia, mengingat kejahatan yang tidak bisa dibayangkan lagi yang telah dilakukan oleh rezim Zionis terhadap rakyat Palestina di Gaza. Maka, kita wajib untuk mengikuti aksi demo A-Quds yang insya Allah digelar Jumat depan. Kita melihat bahwasanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh rezim, pembantaian anak-anak yang telah melampaui batas yang bisa disifati, dan itu juga didukung oleh negara-negara imperialis yang berada di belakangnya yang memberikan kesempatan kepada Israel untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut. Kita wajib untuk menunjukkan solidaritas kita dan dukungan kita kepada rakyat Palestina. Mungkin untuk saat ini kita tidak bisa berada bersama dengan mereka di Gaza, tapi dari tempat yang jauh ini kita angkatkan suara kita yang mendukung mereka dengan ikut serta secara aktif dalam demo Hari Quds Sedunia, insya Allah.
Selain itu, tersisa 2 malam Ihya Lailatul Qadr di hadapan kita. Kita manfaatkan sebaik mungkin malam-malam mulia tersebut. Di malam-malam itu, kita berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, semoga Allah membantu dan melepaskan bangsa-bangsa tertindas, terkhusus rakyat Palestina, dari cengkeraman rezim Zionis dan dari kezaliman rezim Zionis, dan semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan yang terbaik untuk kita semua. Kita akan manfaatkan hari-hari tersebut untuk mendoakan saudara-saudara kita.
Wassalam.